Kamis, 28 Mei 2009
Kereta Panataran
Kereta api yang menuju kota blitar tiba di Stasiun Kota baru, segera naik dan mendapatkan sebuah kursi yang kosong di Gerbong ketiga no 15 b. Ananto kaget ketika lamunan yang terbangun di Stasiun Kota baru muncul dan menjadi kenyataan. Kini di depannya, gadis kerudung putih itu duduk dengan mata sayu memandang ananto dengan tenang setenang Gunung Putri tidur di sebelah barat Kota Malang. Gadis itu diam membisu. Ditatapnya Ananto dengan mata sayu, dia menatap dan terus menatap Ananto. Gadis itu terus menatap Ananto dengan mata sayu dan tidak berkedip, ia menjadi seperti sebongkah batu yang menjadi mainan ombak didalam gerbong kereta. Ananto menjadi kikuk, salah tingkah. Ananto melihat orang yang duduk disampingnya dan disamping gadis itu cuek dan menikmati dunianya sendiri. Orang-orang itu sudah meninggalkan dunia yang fana ini dengan masuk pada dunia mimpi masing-masing.
Gadis it terus memandang ananto, menatap, tatapannya terus tertuju pada Ananto dan tidak berkedip sama sekali. Ananto mulai berpikir dengan ekstra "Ada apa dengan gadis ini? Mengapa gadis itu menatapku dengan tajam dan sayu? Apakah aku berbuat kesalahan, tapi dibalik tatapan tajamnya, ia memndam sesuatu yang tidak tertuju kepadaku?" Ananto merasa heran dengan tingkah gadis itu. Ada seberkas tebal pertanyaan yang mengintari otak penat Ananto.
Gadis itu terus menatap Ananto dengan sayu, matanya mulai mengeluarkan air mata, air mata kepedihan. Air mata yang sangat jernih itu pelan-pelan menetes kebawah dan mengenai kerudung putihnya. Air matanya tidak hanya menetes lalu semakin lama mengalir menganak sungai bak Sungai Brantas yang dilanda banjir bandang. Isak tangisnya tidak terdengar sama sekali. Ananto bertambah heran dan sedikit bersyukur karena gadis itu tidak mengeluarkan suara kerasnya seperti seribu hari yang lalu.
Kereta api yang menuju Kota Blitar terus melaju dengan santai dan seperti berjalan merambat. Kereta api kuno yang menjadi maskot perhubungan Malang-Blitar terus memanjakan penumpangnya yang berada didalamnya. Otak yanga ada di kepala ananto mulai memutar dan berkeliling mencari data yang tersembuhnyi, tetapi belum bisa menemukannya. Bantuan kode search yang sangat jarang digunakan terpaksa digunakan untuk membantu pencarian itu, tetapi sia-sia. Kemungkinan file yang dicarinya berada pada sebuah folder kebingungan atau sudah terdelete seribu hari yang lalu. Mau bertanya, tetapi mulutnya tidak bisa diajak kompromi. Mau menasehati tetapi semua otot-otot yang berhubungan dengan pemberhentian tangisan gadis itu terasa kaku. Kaku terikat rantai-rantai baja buatan penyihir bahadur. Ananto mencermati setiap tetes air mata gadis itu, air mata yang menyimpan ribuan bahkan jutaan kepedihan dan kesedihan. Setiap tetes air mata mengandung tiga ribu kepedihan dan seribu macam kesedihan. Kepedihan gadis itu makin lama makin berkurang. Tinggal beberapa file kepedihan yang belum terkuras keluar dari otaknya. Ananto menarik nafas dalam-dalam, dalam… dalam… ia menghembuskan nafasnya pelan lalu menarik nafas dalam… dan dalam….. Dan mengeluarkan pelan-pelan dan itu terus diulanginya sampai jiwanya sedikit tenang dalam menghadapinya. Ia mencoba untuk membuka kunci suara yang telah membelenggunya selama ribuan detik. Tetapi belum bisa, ia coba sekuat tenaga, tetapi sia-sia.
Kereta api terus berjalan hampir melewati sebuah terowongan gelap sekali yang menyimpan semua kepedian mahkluk alam semesta. Dalam kegelapan terowongan itu Ananto mulai bisa berpikir dan membuka sedikit file-file tentang gadis itu. Ia sudah menyiapkan beberapa pertanyaan yang akan ia tanyakan ketika sudah keluar dari terowongan itu. Kereta api itu terus merambat melewati terowongan gelap itu. Orang-orang banyak yang mengeluh "Buangsat, gelap sekali, apa pemerintah tidak sanggup lagi untuk membeli sebuah lampu untuk menerangi rakyat miskin seperti kita ini" teriak seorang laki-laki dari ujung depan gerbong ketiga ini. "Benar mas, mana uang yang kita sumbangkan untuk kereta ini, setiap hari berdesak-desakkan dan berebut mencari sebuah kursi kosong atau sebuat pijakan untuk berdiri, tapi mana uang itu semua?" tambah seorang ibu-ibu dari belakang gadis itu yang suaranya mengelegar melebihi pesawat supersonic. Di ujung belakang seorang pemuda menjawab semua keluhan yang terus bersuara dengan mengatakan " semuanya dengarkanlah aku, para tikus dan celeng yang telah menguras keuangan kereta api ini, lihat kaca yang ada disamping anda semua, binatang itu yang terus mencuilinya, tak terpengaruh dengan rasa kemanusaan atau kehewanan, mereka terus mengeruh barang-barang yang dibawa oleh kereta api ini sampai tubuh kereta api yang telah tua ini terus menderita dan harus segera dimusiumkan" Ananto terus mendengarkan ocehan penumpang yang ada digerbongnya dengan tenang hampir melupakan gadis yang sedang menangis didepannya. Gadis itu mulai terisak-isak, air matanya terus menetes dikerudung putihnya. Lalu kerudung putihnya yang sudah tidak mampu lagi menampung tetesan iar mata gadis itu melepaskan air matanya menembuh baju putihnya.
Kereta api sudah mulai keluar dari terowongan gelap. Gadis itu mulai mengusap air mata yang sedikit mulai berkurang. Gadis itu tiba-tiba membuka mulutnya dan mengucapkan sesuatu.
"Mas mohon maaf atas kejadian ini, tapi ini bukan kehendakku" ucap gadis itu mengawali pembicaraannya denga pelan kepada Ananto yang kaget seperempat mati. Sewaktu gadis itu mengatakan sesuatu yang tertuju kepada Ananto. Ananto sangat sulit untuk menjawab ataupun menimpali apa yang dikatakan oleh gadis itu. Ia hanya melongo, terpaku di tempat duduknya dengan tatapan hampa. Gadis itu telah selesai mengalirkan air matanya yang sejak puluhan ribu detik yang lalu sudah mengalir.
"Mas maafkan aku, aku tahu mas bingung, mengapa aku menangis sewaktu melihat dan memandang mas. Mas tidak pernah salah dan tidak pernah ada yang dipersalahkan". Gadis itu mulai lancar melafalkan kidung-kidung kenelangsaan hatinya. Ia mulai bisa mendendangkan lagu-lagu nostalgia tangisan ke Ananto dengan sedikit irama yang syahdu. Ananto masih belum beranjak dari kemelongoannya, belum bisa berujar tentang nyanyian-nyanyian syetan yang mengunci jiwa-jiwa manusia. Ananto terlihat gugup dan jiwanya bergetar, pelan, lalu mulai bertambah cepat dan tidak bias dikendalikan.
"Mas jangan bingung. Aku hanyalah secuil makhluk yang mengalami penderitaan di tengah padang tandus di gurun keprihatinan. Tapi aku puas dengan keadaan ini. Aku telah bertemu dengan mas untuk kedua kalinya. Pertama ketika seribu hari yang lalu kemudian sekarang ini. Terima kasih kuucapkan kepada mas khususnya yang telah membantu saya untuk menghabiskan tetesan air mata kenangan yang selama berabad-abad detik mengekangku. Air mata ini masih kusisakan beberapa ribu saja untuk menjagaku dan membuatku tetap dengan kewanitaanku, biarlah wujud feminimku terus terpelihara". Gadis itu terus melantunkan syair-syair kenelangsaan yang menyayat perasaan insan penghuni planet nestapa. Ananto menarik nafas, menarik lagi, lalu dikeluarkan. Ia tidak bisa berpikir lagi untuk menjernihkan pikiran errornya. Lalu pelan-pelan ananto memasukkan file antivirus kedalam CPU otaknya. Satu-persatu virusnya dilawan dan dibantai. Antivirus melalu menang dalam jihad menegangkan. Ananto mulai bisa mengucapkan patah-dua patah kata.
"Ma……ma….aaaaafffkan a… ku mbak, a…….ku…." Ananto berhenti. Lidahnya masih kaku. Gigi-giginya berirama seperti instrument membawakan lantunan musik padang sahara.
"Mas tenangkan dirimu. Aku yakin mas bisa menenangkan jiwa mas dengan cepat. Aku sendiri baru bisa menenangkan kepedihanku selama beraba–abad, tetapi mas dalam waktu seribu hari sudah terlihat sangat mampu untuk menenangkan diri mas ini". Ucapan gadis itu terus mengalir bak laju kereta kencana menuju ke istana batara guru.
"Tapi mbak, a…..? Ananto ragu dengan apa yang mau diucapkannya
"Aku terus duduk di kursi no 14 b ini selama seribu hari berharap bertemu mas dan menghabiskan episode tangisan kepedihan ini yang tertunda seribu hari, air mata ini baru saja sirna. Mas entahlah, mengapa air mataku luluh ketika berjumpa dengan mas. Aku tetap duduk di kursi ini dan diam membatu berharap kehadiran mas duduk di kursi yang mas duduki. Alhamdulillah tuhan telah mendengar permintaanku".
"Oh, baaik … baiklah mbak" Ananto sudah terlihat siap dan tenang dalam menghadapi episode yang penting ini.
"Begitu mas, aku selalu yakin dengan ucapanku bahwa mas bisa mengatasi sesuatu yang membelit jiwa mas. Aku lanjutkan, kursi yang mas duduki itu selalu dibiarkan kosong selama seribu hari untuk berharap mas mendudukinya. Aku rela membiarkan kursi itu menangis meratapi nasibnya yang tidak dimanfaatkan oleh manusia. Ia merindukan belaian bokong-bokong yang mau menari diatas kursi itu.aku relakan kursi itu menderita demi air mataku ini". Gadis itu menunjukkan mata sayunya dan Ananto menghela nafas panjang.
"Mengapa itu terjadi mbak?" pertanyaan Ananto keluar dari mulutnya dengan mantap.
"Air mata kepedihan ini telah muncul sejak 5 abad yang lalu. Itu berasal dari sebuah peristiwa yang hampir sama dengan lagu perjalanan yang sangat fenomenal itu, tapi sedikit liriknya berbeda, bila yang dilagu itu seorang ibu, maka lakon yang muncul adalah aku, gadis kerudung putih yang kerudungnya basah terkena aliran air mata".
"Tapi apa hubungannya dengan diriku yang hina dina ini. Apakah aku sebagai seorang anak, eh maaf sebagai seorang pemuda yang akan dipeluk oleh seorang gadis karena teringat akan kekasihnya?" Ananto sedikit menegaskan sebuah statemen yang mengganjal dalam otaknya.
"Benar mas. Penderitaanku ini terobati dengan kemunculan mas. Cerita 5 abad yang lalu ketika seorang pemuda yang menjadi pendamping hidupku dalam mengarungi badai lautan yang keras dan ganas, yang selalu menghantam karang-karang kehidupan. Pemuda itu telah memenuhi impian-impianku, sulit untuk dihilangkan atau dilepaskan filenya".
"Kalau begitu, mohon maaf, sudahkan anda melepaskan kepenatan dalam urusan dunia ini? Kejar Ananto lagi.
"Benar, tapi jangan bingung atau merasa bersalah. Pemuda harapanku itu telah meningalkanku selamanya dengan meninggalkan berjuta-juta kenangan yang sementara ini tinggal beberapa ribu saja karena bertemu mas".
"Lalu apa hubungannya denganku. Apakah ia mirip denganku, mirip dalam apanya?" Ananto terus mendesakkan pertanyaannya ke jaring-jaring gawang sanubari gadis itu. Gadis itu tetap tenang.
"Iya mas, pemuda itu mirip dengan mas, sangat mirip dengan mas, tak ada cacat satupun yang membedakan dengannya. Aku terus memperhatikan dan menatap mas. Barulah air mataku mengalir dari mata sayuku. Itu pertanda bahwa mas dapat menimbulkan dan menghilangkan ingatan-ingatan 5 abad yang lalu. Aku yakin dan pasti bahwa mas adalah titisan pemuda idamanku itu. Mas diutus oleh tuhan untuk mengiras habis genangan air mata yang ada di kedua mataku ini. Kuucapkan terima kasih"
"Oh begitu ceritanya, tapi apakah aku siap dan memang benar yang ditunjuk oleh tuhan dalam cerita ini. Aku hanyalah pemuda hidung belang yang matanya selalu berbinar-binar ketika melihat seorang wanita. Mataku tidak bisa dibohongi. Aku selalu tertarik dan terpesona kepada gadis-gadis. Itu membuat aku deg-degan ketika melihat anda. Deg-deganku kali ini memuncak dan mungkin sudah mengalami masa klimaknya. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi disaat aku berada di depan anda. Aku tidak tahu mengapa deg-deganku tidak bisa dikendalikan. Tapi atas saran mbak, aku sudah bisa mengatasinya".
"Janganlah deg-degan mas, tuhan mencoba dan memberi cobaan kita sesuai dengan kemampuan kita. Dan inilah akhir dari episode yang telah berabad-abad kujalani. Bersediakah….?"
"Mbak, sulit berucap itu. Untuk itu di penghujung episode ini. Kuperkenalkan nama saya Ananto dari Negeri Kating yang menjaga putuk selama jutaan-tahun. Lalu episode ini kita lanjutkan dan bahkan kita buat lagi".
"Terima kasih mas, namaku Lutfia dari Negeri Katambanan, aku setuju dan di stasiun depan aku akan turun. Nantikan aku seribu hari mendatang untuk membuat episode yang baru lagi". Gadis itu turun di Stasiun Sumber Gempol dan Ananto terus melanjutkan perjalanannya dengan perasaan yang damai.
Stasiun Kota Baru Malang,
27 November 2003
Nyi Nalah
Aku memasuki pelataran Padepokan Imambu dan memarkir kuda tahun 80-anku di ujung timur dari kuda-kuda yang berbagai merek terkenal lain terutama dari Jepang, China dll. Sementara sekelompok anak muda menyambutku dengan meriah.
"Hei ron, tumben kamu datang? Ejek Pendekar Imambu dari kerumunan manusia-manusia yang sedang membuat gaduh.
"Tuh yang kasih surat" jawabku sambil menunjuk Pendekar Plecor yang berpakaian coklat.
Semakin lama teman-temanku bertambah banyak hampir membentuk sebuah batalion raider yang kekuatannya setara dengan kekuatan 3 batalion infanteri biasa untuk memenuhi undangan pernikahan Pendekar Paini di Pelataran Candi kuno penghuni bangsa peri di Daerah Surowono.
Senja telah turun, seakan merambat dan membelai Sungai Brantas yang kami seberangi untuk menuju Padepokan Sangkar pundak sayur yang berjarak beberapa tahun cahaya dari singgasana raja di Negeri ibu kota angin.
"Hud, Padepokan Sangkar pundak sayur itu kan dekatnya Padepokan Katelor horen di Pulau Kondang pitik" tanyaku penasaran.
"Ya pasti benar" jawab Pendekar Hudano seadanya.
"Nanti kita mampir ke sana ya "
"Ya, benar"
"Kok kamu bilang ya benar terus ada apa?"
"Nggak ada apa-apa. Eh ngapain kamu ke Padepokan Katelor horen, di sanakan banyak jebakan?" tanya Pendekar Hudano.
"Enggak, cuma ngunjungi mantan pacarnya Pendekar Burhano"
"Mantan" Pendekar Hudano melotot tidak percaya.
"Iya, emangnya kenapa, dia kan yang bubaran, kami tetap baik-baik saja dan tetap saling mengunjungi dan menyapa" jawabku semaunya.
"Ok, kalau begitu"
Malam perlahan menyusul, aku berusaha mendahuluhi teman-teman sambil ngobrol dengan Pendekar Hudano dari Pesantren Nglawak yang terkenal keriangan hati.
"Hud, siapa gadis itu"
"Waduh, kamu ini kuper banget, dia itu kan teman kita dulu waktu sama-sama berguru ajian pancamurti di Padepokan Cendono klawu"
"Oke, aku paham, teman kita di Cendono klawu, lalu siapa namanya?" desakku kepada Pendekar Hudano.
"Walah-walah ini, ingatanmu sudah kamu taruh dimana tho, apa karena kamu mempelajari Ilmu Gringsing dan Nglajoyo sehingga kamu tidak ingat sama teman-temanmu dulu"
"Aku nyerah deh"
Baik, dia Nyi Nalah putri Kyai Syamsul dari Pesantren Singkal enggal di Lembah Kagedongan di Negeri Paramban".
"Nyi Nalah" aku berusaha mengingat memory enam dasawarsa lalu dan tetap memacu kuda tahun 80-anku agar tetap jalan.
"Oh aku ingat, dia kan primadona perguruan kita yang di anggap kembarannya Nyi Risah sang primadona Negeri Banjur kadadap"
"100 % leres" Pendekar Hudano tertawa terbahak-bahak.
Kubayangkan gadis itu dengan khusuk sekhusuk sholatnya para kyai dari pesantren yang tiada pengganggunya. Beberapa saat kemudian tiba di Negeri Candi kuno yang sangat asri dan masih perawan seperawan gadis itu dengan senyumnya yang simpul. Tiba-tiba gadis itu tersenyum kepadaku dengan senyum keabadian. Akupun tidak bisa menyembuhnyikan kebahagiaan yang selama ini kemarau sekemarau pada zaman Nabi Yusuf ketika menjadi pegawai negara. Aku yang semula tidak percaya lagi terhadap kesejukan batin ketika seorang gadis menjabat tanganku. Aku gemetaran dan dia merasakannya.
"Ron, jangan sok santri tulen" hardik Nyi Nalah sambil tersenyum.
"Tidak, aku kan penganut Kyai Masrukin dari Pesantren Bok kembar di Lembah Ngejen dan aku tidak bisa menyembuhnyikan kebahagiaan yang tidak mungkin di lukiskan dengan segala tinta dan dibungakan di bank manapun karena selama ini aku kering dari jabatan seorang wanita yang benar-benar mau mengenal diriku"
"Oh benar itu?"
"Tentu benar, di jamin halal"
"Kalau gitu kita jodoh kan?"
"Oh tentu-tentu"
"Ngomong-ngomong bagaimana keadaan kamu selama ini Ron?"
"Ya kamu jelas tahu sendiri, seperti ini"
"Bukan itu maksudku, tapi kemana kamu selama 3 dasawarsa ini tidak pernah menunjukkan batang hidung?"
"Kangen ya, aku selalu terkenang akan dirimu, di manapun termasuk di wc dan kamar mandi juga masih menyimpan segudang amunisi memory denganmu"
"Serius dikit dong"
"Iya ya, aku tahu, setelah menyelesaikan di Perguruan Cendono klawu, aku pergi ke Perguruan Kuwak mbureng dan Pesantren Ngadisimo lalu pergi ke Perguruan Singgahan bringin di kaki Gunung Kelut untuk belajar Ilmu Grising yang terkenal itu sambil di Pesantren Pelem yang membawa kedamaian, lalu aku berkelana hingga sampai di Perguruan Joyo trisno di kaki Gunung Yugo tilem yang menyimpan banyak ilmu-ilmu kuno dan ilmu kebatinan seperti Ilmu Pancar geni dan Sahabar.
"Oh sangat hebat" nyi nalah sangat terpesona dengan pengamanku selama 3 dasawarsa ini.
"Ah itu belum seberapa, lalu kamu sendiri bagaimana?"
"Di rumah saja"
"kembali ke TK ya? Tanyaku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa itu TK?" tanya Nyi Nalah penuh heran.
"Tunggu kawin" jawab pendekat plecor yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kami.
"Ah kamu ini bisa-bisa saja, siapa yang mau dengan aku yang jelek begini. Nyi Nalah yang terlihat merendah yang meremehkan dirinya.
"Siapa …..? Kan banyak sekali pendekar yang mau denganmu. Contohnya aku ini"
"Beneran nih"
"Ya jelas benar , kita akan melanjutkan tradisi perayaan pernikahan setelah acara pernikahannya Pendekar Paini"
"Aduh apa aku ini cocok dengan pendekar kenamaan di Kerajaan Anjuk ladang ini"
"Nyi Nalah, jangan merendah, kamu kan baru berguru pada Iyang Resi Sujoyo notoboto di Negara Majalengka. Malah ilmu kebatinnya sudah sampai pada tingkat ke tujuh" sela Nyi Najah yang sejak tadi ngobrol dengan dengan Pendekar Imambu dan juga mendengarkan siulan-siulan dan ocehan-ocehan burung yang bersarang di langit-langit.
"Ha hebat sekali kamu Nyi, sampai sejauh itu pengembaraanmu?"
“Bohong itu Nyi Najah, aku hanya di rumah saja” bela Nyi Nalah sambil menyembuhnyikan kebenaran.
“Jangan malu, aku saja sampai sekarang belum bisa meneruskan ilmu kebatinan saya, saya hanya sampai tingkat 3”
------------
Jam menunjukkan pukul 20.30 WAT (Waktu Anjuk ladang bagian Timur), kurang setengah jam lagi acara di mulai, tetapi desas desus yang belum menyebar menjadi gossip bahwa acara belum di mulai menjadi santer. Pendekar Imambu yang terbangun dari mimpi yang indah mulai ngoceh setelah makan pisang dari Negeri Ambon.
"Ini gimana tho, kita di undang kesini utuk melihat acara pengantin atau aksinya pengantin"
"Maksudnya?" tanya Pendekar Kasuna
"Masak undangan pukul 21.00 WAT, apa itu tidak mengganggu penganten di istananya."
"Manut saja saya" jawab Pendekar Plecor asal-asalan.
"Nyi, gimana kabar kembaranmu?" aku bertanya kepada Nyi Nalah lagi yang seketika disela oleh Pendekar Madon.
"Ia sudah menikah"jawab Pendekar Madon.
"Aku nggak nanya kamu”.
"Ya sudah aku diam"
"Benar, ia sudah menikah di bulan shafar dengan pendekar dari Lembah Combore di samping Alas Gondang asin.
"Kalau kamu kapan?"
"Ya nunggu kamu, kapan siapnya"
"Wah deg-degan aku, kapan ya enaknya, sekarang ya bisa, aku sih siap-siap saja" aku berdua tertawa lepas karena beban di pundak ku dan Nyi Nalah yang selama ini untuk meminggul negara bulan mengopeni para lintah-lintah darat seperti bajingan jangkoro, kampret, dan bagigul yang telah memeras rakyat Kerajaan Kacengkokan melalui akar-akar jantung papaya yang selama ini meresahkan kawanan pemburu bajul buntung.
Malam semakin larut, acara pernikahan Pendekar Paini dengan Pendekar Jurupi dari Tangkis rame di tepi Sungai Brantas memasuki babak pertengahan yaitu babak pengenalan. Undangan larut dalam ketakjuban ketika Pendekar Paini memakai baju yang besarnya melebihi payung pusaka dari Negeri Garapu.
--------------
Aku berjalan keluar mengikuti angan-anganku bahwa akan ada suatu peristiwa maha dasyat yang akan melanda daerah candi kuno ini.
"Nyi Nalah, kesini" teriakku kepada Nyi Nalah yang ada di dalam padepokan.
"Ada apa ron"
"Lihat di atas langit sana" tunjukku ke arah rembulan
"Woowwww, sangat menakjubkan, gerhana bulan"
"Iya, pernikahan ini di saksikan oleh gerhana bulan dan juga kita berdua dalam mengikat tali silaturahim dan dengan simpul-simpul mati di saksikan dan di restui oleh tuhan melalui gerhana bulan ini"
"Maksudnya?" Nyi Nalah terbengong.
"Itu tadi, kita akan segera meneruskan tradisi yang di ciptakan oleh endekar Paini"
"Oh tentu"
Setelah acara pernikahan Pendekar Paini selesai, bergegas rekan-rekannya dari semua unsur menyalami dan memohon pamit. Nyi Nalah yang menghadiri pernikahan ini bersama Nyi Najah mengakhiri kisah cerpen ini ke daerah seribu macam angin. Aku melepas kepergian Nyi Nalah dengan hanya bisa berdoa bahwa ia kelak akan berjumpa dengan Nyi Nalah lagi. Kepergian Nyi Nalah yang di dampingi oleh dedaunan pohon mangga dan kehikmatan makhluk-makhluk yang tidak berdosa mengantarkan nyi nalah agar dapat melanjutkan memori yang tidak dapat di tinggalkan. Sementara awan-awan putih yang mengiringi peristiwa gerhana bulan bergembira ria dengan kembalinya sang rembulan dari kegelapan semenit. Sebagaimana hati yang kumiliki menjadi terbuka dalam mengantar kepergian Nyi Nalah.
Joyosuko Malang,
31 Desember 2007
Jamorono
Jamorono berjalan menuju ketrayangan yang jaraknya tidak begitu jauh dari Perguruan Hanimandu Putuk karena ia berguru pada Iyang Kamulayaman keturunan Iyang Angkling Darmo yang bisa bercakap dengan Naga Pati. Meskipun hari itu adalah hari kamis, hari yang menyimpan begitu banyak bunga-bunga liar untuk mengucapkan sedikit Sholawat dan Yasin di dalam dada orang-orang yang masih memiliki jiwa kemanusiaan. Jamorono memasuki tangga bus dan menemukan kursi kosong dekat seorang gadis kuning berparas ayu bejilbab putih yang sangat mempesona. Setiap orang yang melihatnya pastilah jatuh hati dan tertarik padanya karena dalam diri gadis itu terdapat butir-butir mutiara surat al-Waqi’ah yang selalu dimaklumatkan setiap saat sekali dengan keyakinan bahwa jiwa-jiwa getirnya bisa teratasi dengan sedikit air pancuran dari surga yang memercik mewudlukannya.
“Permisi mbak, boleh duduk di kursi ini “ pinta Jamorono dengan santun karena tempat duduk yang masih kosong hanyalah di samping gadis jelita tersebut. Gadis itu tersenyum kecil sekecil gumpalan-gumpalan kebaikan yag menyelimuti semua insan manusia dan mempersilahkan Jamorono duduk disampingnya. Jamorono memperhatikan gadis itu singkat agar tidak dituduh mencari kesempatan di dalam prahara kekacauan Negara Atas Langit karena perbuatan para cukong-cukong dan bajul-bajul darat dari Negeri Metronesia yang menguras kekayaan rakyat awam. Beberapa saat mereka berdiam diri merenungi kehidupan sekarang oleh bencana ketidakpercayaan pada para elit selain ekonomi sulit dan hal-hal yang belum pernah terjalani.
Gadis itu membaca sebuah koran ibukota Propinsi Puger joyo yang baru saja di belinya untuk mengisi kekosongan batinnya dalam penungguan waktu untuk beberapa saat agar ranting-ranting kepenatan yang mulai mengering tersirami lagi. Sementara jamo rono melirik kecut berita-berita yang terpampang di head line koran tersebut yang berisi kemelut Negara Rahwana yang menurun pada kekacauan Negara Metronesia yang saling menjatuhkan dan menjegal di kalangan elit.
“Permisi mas, tolong lihat ini, tawa fatamorgana kekuasaan elit-elit politik yang berkilauan dari pucuk-pucuk daun ganja yang diharamkan agama” gadis itu membuka tabir kediaman mereka di dalam bus yang sedang berlari dengan kencang tapi terengah-engah karena dimakan usia.
“Iya mbak, tapi kebingungan muncul dari ketakutan dari keputusasaan para penghuni rumah mewah (mepet sawah) dan ada di kolong jembatan yang selalu terbentur sangkar kekuasaan” Jamorono berusaha mengimbangi gaya pembicaraan gadis itu.
Masa sekarang ini zaman sudah edan, kucing yang ingin bangkit dan ingin mempunyai rasa kekucingan dan memporak-porandakan para tikus birokrat yang selalu menggerogoti rakyat, belum maksimal dan efisien".
"Benar mbak, sekarang ini janji utopis sudah tergeletak di selokan dan koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan".
"Tapi mas, bagaimana cara membasmi para tikus itu, terutama yang bersarang di istana para pimpinan Negara Metronesia, ataupun yang ada di tempat-tempat yang di miliki oleh negara?".
Tiba-tiba ada dua orang bertopeng yang masuk dan mengambil beberapa barang yang bukan menjadi hak miliknya.
"Mas, tolong jangan di ambil barang berharga kami yang hanya-satu-satunya ini" pinta seorang ibu-ibu dari belakang bus sambil merengek-rengek minta dibelaskasihani.
"Tapi inilah cara kami mencari makan" bantah salah seorang manusia bertopeng itu".
"Tolong ambilah barang yang dimiliki oleh bajul-bajul darat yang menghuni istana Negara Metronesia" teriak seorang pemuda yang ada di belakang sebelah kiri.
"Iya aku tahu, tapi aku tidak berani kesana, karena disana di jaga oleh manusia berkepala babi, bertaringkan srigala dan mempunyai ajian segoro geni warisan Empu Tong bajul."
"Pengecut kamu" teriak seorang pemuda dari depan yang suaranya bagaian petir disiang bolong membuat 2 orang bertopeng itu naik darah dan bertegangan 220 volt siap meninju sampai mampus pemuda itu.
"Hey ploco, ini dia seorang perawan aduhai muncul dari bunga matahari" teriak salah seorang penjahat bertopeng yang lebih pendek kepada temannya yang bernama Ploco.
"Tunggu dulu, sabar tho" pinta Jamorono.
"Ada apa kamu, ingin menjadi penghuni kuburan sia-sia"
"Jelas tidak dong, yang saya bingungkan adalah subtansi dari perkataanmu yang membuat seisi jagat raya ini bingung" Jamorono memberi penjelasan.
"Apanya yang dibingungkan" penjahat bertopeng itu mulai kebingungan dan bertanya.
"Itu tadi kamu mencari seorang gadis atau perawan" Jamorono balik tanya.
"Ya jelas perawan tho, untuk persembahan betoro kucil di Pegunungan Bajul mangan"
"Tapi dia kan istri saya, jelas sudah tidak perawan lagi"
"He kamu, benar yang dikataan olehnya" tunjuk perampok bertopeng itu ke gadis itu. Gadis itu diam sejenak, entah apa yang tergodok di imajinasinya mau mengatakan iya atau tidak. Sementara Jamorono menggunakan sentuhan kaki sutranya ke kaki gadis itu.
"Iya pak, dia suami saya"
"Kalau benar ia suamimu, cium dia" tanpa ragu-ragu gadis itu mencium kening Jamorono. Jamorono kelabakan dan agak kikuk menghadapi kemesraan ciuman seorang gadis yang belum pernah ia rasakan. Padahal gadis itu belum pernah di kenalnya membuat beribu-ribu fantasi dan imajinasi yang selama ini belum pernah ia rasakan dalam sanubarinya.
"He kamu jangan keenakaan kalau di cium, siapa nama istrimu dan asalnya dari mana" tanya perampok itu dan jamo rono menghela nafas jang lalu mengumandangkan perkataan yang belum pernah di sadari olehnya.
"Namanya Istianah Hamidah dari Negeri Samping Langit yaitu termasuk Negeri Ngawilangan disamping Gunung Kendeng di Alas Kemanjing yang menyimpan berjuta kenangan dan keteduhan alam dunia yang sibuk mengurusi keduniaannya sendiri. Hal ini memungkinkan untuk terisi oleh berjuta cukong yang memakai topeng dewa dan biksu yang terlihat masih mempunyai ekor berbentuk ekor tikus" Jamorono berbicara panjang lebar.
"Meskipun faktamu banyak, tapi karena kecantikan gadis ini sangat mempesona. Jangankan aku, siapapun termasuk sincanpun akan terpesona, ayo ikut aku, akan ku buatkan istana perak di negeri kincir sewu yang bertebaran wewanginan dewi kunti dari sungai klenter'.
"Tidak mau, aku tidak sudi ikut denganmu'
"Kalau tidak mau, lihat celuritku ini, sangat tajam dan sudah memutuskan leher para menginap losmen atas langit, ini akan membabat leher suamimu"
"Maaf, jangan diteruskan, lihat didepan dadamu terpasang pistol berisi enam peluru intan martapura yang siap menembus jantungmu yang berpenyakit keragu-raguan, cepat jatuhkan celuritmu" ancam Jamorono.
Penjahat itu mati kuku, dan tidak bisa berbuat apa-apa yang menyebabkan mereka lari keluar lewat pintu kemelut dan melemparkan dirinya ke persawahan hijau yang pasti tidak meninggalkan goresan sedikitpun pada tubuh mereka. Sementara barang yang dirampas dibiarkan berbaris tidak rapi dan tinggal menunggu perintah jendral berbintang tujuh karena habis sakit kepala. Secara sukarela barang tersebut diambil oleh pemilik masing-masing.
Suasana bus yang sebelum kedatangan penjahat bertopeng damai dan tenang, setenang lautan teduh seribu tahun yang lalu – menjadi histeris menyambut suka cita karena terbebas dari tekanan batin yang sangat akibat perampok bertopeng tadi. Mereka mengucapkan terima kasih dan memberi ucapan selamat atas pernikahan Jamorono dan Istianah hamidah yang baru berjalan satu bulan. Para penumpang belum mengetahui sejatinya keadaan Jamorono dan gadis tersebut.
"Mas boleh tanya?" tanya gadis itu.
"Boleh"
"Pertama kuucapkan terima kasih atas bantuan yang mas berikan. Kedua, aku meminta maaf beribu-ribu maaf yang sudah sering ku ucapkan terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw. Bahwa aku tadi mencium mas, tapi itu aku dalam keadaan terpaksa dan itu salah satu cara agar aku tidak terjerumus dalam kenistaan. Selanjutnya dunia ini sangat kecil dan sempit tetapi tidak sekecil daun kelor. Apakah aku boleh bertanya, siapakah yang mas maksud dengan Istianah hamidah dari Negeri Samping langit?"
"Aku juga minta maaf, maaf ya aku belum pernah di cium gadis jadi agak kikuk dan semua manusia itu wajib tolong menolong" Jamorono menghela nafas pelan-pelan.
"Istianah hamidah adalah seorang sahabat yang terlepas sewindu yang lalu karena ketidakberdayaanya dalam menghadapi cobaan, dengan ketabahan ikhtiar di Negeri Delapan sanggorohan untuk berguru ke Padepokan Mentalistik. Dia sahabatku waktu aku masih di dalam bimbingan Pendekar Jabar klampis dari Negeri Cendono klawu di Lembah Tegal cacing"
“Oh malang sekali nasib mas, tetapi mengapa sampai sewindu mas tetap melanjutkan copyan memory dengannya.”
"Iya aku tidak bisa melupakan memory jasa-jasanya kepadaku yang menyebabkan kedisiplinan terus terbina sampai terpasang di busur asmara yang membungkam kerinduanku kepadanya".
"Mengapa anda tidak mencarinya?"
"Sudah beribu-ribu hari aku mencarinya tetapi tidak menemukannya padahal pencarianku sudah sampai ke pelosok-pelosok dan juga dekat dengan sarang tikus-tikus sawah yang selalu menyengsarakan dan meresahkan masyarakat di luar perkotaan". Jamorono menjelaskan panjang lebar.
"Oh, aku minta beribu-ribu maaf sekali lagi, tapi apakah mas punya alamatnya yang jelas?" gadis itu terus memberikan pertanyaan.
"Yang kutahu ayahnya punya pesantren yang namanya aku tidak ingat lagi, karena terhapus oleh kerinduanku kepada dia".
"Ngomong-ngomong anda kok sendiri, mana istri kamu?"
"Istri, apa aku ini sudah pantas, lha wong aku belum menemukan titik temu permasalahan yang menghubungkan antar galaksi, pacaran saja belum terpikirkan, kok nambah keruwetan dunia" Jamorono berbicara sambil tertawa
" Maaf ya bukan maksud melecehkan kepribumian mas"
"Nggak apa-apa" Jamorono tertawa lepas di ikuti gadis itu.
"Ngomong-ngomong sejak tadi kita belum kenalan, saya Jamorono dari Negeri Cacing sabongkok di sebuah lembah yang terkenal dengan nama Ngerong nang got, setelah tamat dari Perguruan Cendono klawu aku pergi ke Perguruan Sapto paluwih, lalu ke Perguruan Bringin sewu dan ke Perguruan Joyo tresno di samping Sungai Metro yang membawa ketenangan abadi"
"Nama saya Nala khurotul aini dari Negeri Samping langit sekampung dengan Istianah hamidah. Bila mas ingin menemui Istianah hamidah dan melepaskan rantai dan gelombang yang selama ini mengurung dan menghantui mas dalam bergelut dengan ilustrasi dunia yang fana ini"
"Maksudnya"
"Engkau harus bertemu dengannya besok malam jum'at kliwon tanggal 21 jumadil awal tahun ini pukul 18.30 wib tepat, bila terlambat sedikitpun, nahkoda akan memberangkatkan pelayaran kapal dan andapun tertinggal"
"Dimana alamat lengkapnya" desak Jamorono
"Di Negeri Samping langit Jalan kawilangan gang Putuk no 216 di samping Pesantren Baitul khoir di Pegunungan Kendeng tempat pendekatan diri kepada tuhan semesta alam"
"Insyaallah"Keduanya terdiam, mengikuti irama bus malam yang berlari kencang tanpa rasa was-was. Bus telah sampai di Negeri Bandar kedungmulyo yang menjadi basis penanam padi berkreasi bersama. Jamorono menengok ke belakang dan memperhatikan sekelilingnya yang terdiam tak berkutik. Dia merasa tenang dan tentram karena tujuannya semakin dekat"
"Mas, nanti turun mana?" tanya Nala khurotul aini
"Turun di Perempatan Barong sae di Negeri Tunjang unom"
"Oh sudah dekat"
"Iya, mbak Nala tadi dari mana, kok sendirian, apa tidak takut di caplok macan kelaparan?"
"Saya dari rumah paman di Negeri Waru doyong bersama adik saya yang sekarang masih tinggal di sana"
"Nggak di antar suaminya?"
"Ngaco kamu, orang masih single gini di bilang punya suami, apa aku kelihatan sudah berkeluarga dan tua seperti nenek-nenek yang sudah peot, Lihatlah! Aku masih segar bugar tanpa sesuatu apapun."
"Iya berkeluarga denganku tentunya bila aku tidak tersangkut dengan delima dari pesantren baitul khoir, saya sudah tertarik pada mbak Nala dan ingin menjadi sepasang yang saling berdampingan"
"Jangan ngomong gitu, dan jangan tergesa-gesa tunggu setengah bulan lagi"
"Iya mbak, saran mbak ku perhatikan. Eh maaf aku harus turun dulu Perempatan Borang sudah di depan mata"
"Silahkan dan hati-hati!!"
"Iya, tapi kamu harus lebih hati hati dan waspada bila ada bajul-bajul darat dan juga srigala-srigala lapar yang menguasai Negeri Metronesia ini"
"Iya mas di jamin halal”
“Asslamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam"
Jamorono bergegas ke pintu depan untuk turun dan melanjutkan perjalanannya ke kampung Cacing sabongkok di Lembah Ngerong nang got yang masih di tempuh sejuta kali loncatan kuda. Pengalaman indah malam itu membuat Jamorono optimis untuk segera menemukan Istianah hamidah yang sudah menghilang selama sewindu lamanya. Tetapi Jamorono sedikit penasaran, mengapa gadis itu mengetahui secara detail identitas dan keadaan Istianah hamidah sekarang ini. Tapi Jamorono tidak peduli dengan hal itu, karena program yang sudah di masukkan ke dalam file otaknya yang berisi sejuta file tentang istianah hamidah dapat di buka kembali dan tidak terkena firus apapun.
Cengkok Nganjuk,
28 Maret 2008
Jam Beker
Muwal berteriak keras untuk membangunkanku yang terlelap habis Perang Baratayudha. Aku tersenyum simpul dan sesekali manguap.
“Muwal, engkaulah teman sejati selama ini” desahku sambil membelainya. Aku merasa was-was terhadap nasibnya yang sering sakit-sakitan dan mogok kerja sehingga aku sering bangun telat dan kesiangan.
“Jangan khawatir Muwal, engkau tak akan ku jual atau ku buang ke selokan depan kost. Engkau telah menunjukkan kesetiaan mengabdi kepadaku selama 5 tahun. Kau tak pernah kelaparan. Tapi aku yang selalu kelaparan, terutama dalam hal cinta dan asmara. Aku selalu ragu-ragu dan tidak percaya dengan diri sendiri. Kesetiaanku kandas di persimpangan aspal jalan. Hatiku mengatakan bahwa aku sangat cemburu melihat kekasihku berada di pelukan lain. Pemfusian yang mereka lakukan telah mengiris-iris hati merah ini yang beratnya hanya satu kilogram. Hatiku pecah menjadi berjuta cacahan, belum bisa di rajut oleh benang-benang cinta dan asmara warna lain di sekitar benang putih pujaanku. Juga dikarenakan aku belum menemukan poin sebuah topik yang menjadi alas kecemburuanku itu” aku bercerita banyak tentang permasalahan yang rumit itu kepada Muwal yang konsisten sehingga bisa menemukan halilintar berkah untuk menjawab desar-desir angin yang terus menerpa jiwaku agar goyah dan memuntahkan semua kotoran-kotoran maya yang bermaraton untuk merebut simpati kenyataan.
Muwal tampak tersenyum dan mulai mengerti keluhan asap-asap racun pembakaran hutan-hutan yang sudah menasional yang kuutarakan. Aku sedikit bisa tersenyum.
“Selama ini shobat, aku selalu setia dan memimpikan rangkaian ranting-ranting yang menjadikan daun tampak hijau, kuat, dan yang terakhir muncul bunga-bunga kehidupan untuk memulai hidup baru. Muwal, engkau tahu maksudku kan? Mengapa aku bisa cemburu seperti ini?”. Aku semakin mengeraskan suaraku dari pita-pita kaset yang mulai ruwet mengikuti ruwetnya tatanan dunia global di Indonesia. Muwal tampak ketakutan dan berusaha menyembunyikan suaranya.
“Muwal, janganlah engkau mogok karena gertakanku ini, aku tidak sengaja, tapi aku berusaha melepaskan dan mengeluarkan sampah-sampah penyakit yang menggerogoti hati yang semakin menggumpal ini. Kenapa hal ini harus menimpaku. Tidak kepada orang-orang yang selalu bermain dan mencari rizki dari cinta. Shobatku, aku sangat mencintainya, bila ada yang mengganggunya aku tidak terima. Tapi, aku tak dapat bertindak apa-apa karena kehidupan dunia sekarang menuntut banyak tentang hak asasi manusia. Aku tidak bisa marah kepadanya, mengumpat, memisuh, menghardik, menempeleng kekasihku saat itu. Tapi beda dengan yang ada di sini” aku memperlihatkan dadaku.
“Sakit sekali rasanya, lebih baik sakit gigi daripada sekujur tubuhku menggigil dan bergetar”. Muwal mulai santai dan sedikit bisa berpikir untuk overcoming problemku.
Muwal menjawab problemku dengan tujuh dentangan pelan yang di akibatkan persediaan bahan bakar dan segala macam makanan mulai menipis. Aku bangun dari ranjangku dan menuju ke tempat kembarku yang menunjukkan perbedaan posisi.
“Lihat muwal, aku tampak kurus. Tapi, bagaimanapun masalahku ini merupakan musibah besar yang menggelegar jantungku. Kini aku menangis. Air mataku jatuh ke sungai Metro tanpa sisa. Bagaimana tidak seorang kekasih yang sekian lama hidup bersama. Menyanyikan lagu-lagu kenelangsaan buat diriku. Melempariku cakram-cakram perpisahan. Kini telah menghianatiku. O, malang yang mesti ku tanggung” komentarku dalam kondisi jiwa yang remuk sembari membuka pintu radio yang melantunkan lagu-lagu mahameru untuk menghiburku. Tetapi ternyata radio lebih suka menyanyikan lagu SDM yang di suarakan oleh Sheila on seven dengan “shefianya”.
“Dengar Muwal, rekan kita juga mengerti aku. Tapi itu bukan untukku, itu untuk kekasihku. Aku tidak sanggup radio. Hentikan suaramu yang menyayat hati ini. Aku sudah tidak sanggup untuk mendengar lagi. Lihat muwal dan radio, langit yang biru di luar juga ikut berduka , mengubah warnanya menjadi gelap, awan yang semula putih kapas juga menjelma menjadi comulus dan stratus. Burung-burung melintasi sungai metro barat kamarku, dedaunan yang hijau menjadi hitam keputih-putihan karena debu Gunung Semeru. Batu-batu tidak ketinggalan berubah menjadi suram dan berlumut. Semua menjadi gelap, berarti duka!. Hanyalah sinar matahari dan angin yang tidak mau menjadi gelap. Bahkan semua mengutukku sebagai lelaki yang tidak sanggup memerankan lakon utama dalam cerita ini”. Tiba-tiba kesejatian cintaku kepada maha kekasih menjadi tumpul di tengah hutan pengembaraan bersama Bagus Sajiwo yang menghalau Mak Lampir, maka ku hadirkan kembali kasih sayang yang tiada lawan dan kawan setelah Allah dan Rasulullah yaitu ibuku, yang selalu dan penuh keikhlasan. Kasih sayangnya tidak mungkin terungkapkan secara total meskipun oleh si pujangga kampus “Ananto Firdaus” atau Kyai Jamrong, filosof hati yang ketakutan karena karya-karyanya terbukti untuk dirinya. Ini tidak mungkin dapat dipublikasikan dalam jiwa ragaku menjadikan sesaji dari persembahan tumbal kehidupan.
“Shobatku, diamlah sejenak untuk memberi kesempatan kepada radio, adikmu menyanyikan lagu-lagu riang untukku” bunyi tak tik tuk dari mulut Muwal sedikit berkurang. Muwal menghormati radio yang mendendangkan lagu Merpati putihnya Ike Nur Jannah.
“Muwal, sekarang aku mulai sadar kalau spiritualitasku lagi kering karena terhempas oleh angin tornado dari kota seribu macam angin dan terkesima oleh alur goyangan realitas dunia. Maka aku ingat selalu radio yang selalu ngaji sebelum sholat maghrib, membacakan Surat Yasin, Ar-Rohman, suaranya Bimbo, Muamar dan pidatonya si Dai Sejuta umat: semua itu merupakan perpaduan agung yang memantul dari kepiluan, cinta dan harapan-harapan yang disematkan di pundakku. Dengan teringat itu, jiwaku semakin riang dan berbunga. Seperti pikiranku yang menuntut kemandirian dan melepaskan keterikatan spiritual dengan hatiku”. Radio semakin memanjakanku dengan lagu “Sepohon kayu” yang dinyanyikan leh Hj. Wafiq Azizah.
Kupandangi foto kekasihku beku laksana salju. Mungkin ia khikmat meniti di atas lorong keyakinannya. Mungkin ia sedang di selimuti kabut tebal keprihatinan kepadaku, atau entahlah. Menertawakanku karena menjalankan lakon seperti ini. Muwal tiba tiba berhenti berputar. Aku terhenyak memandangnya. Potensi pikiranku tidak sepenuhnya dapat mencerna kelakuan-kelakuan yang dilakukan kekasih yang bernama Aniar yang artinya "aku naksir indahnya awan rindu', meski disela-selanya terkandung kekuatan magis yang dasyat.
"Aniar kekasihku, dengarkanlah Muwal yang selalu wirid setiap saat. Aku sebenarnya tidak pernah yakin bahwa kediamanku ini tidaklah berbeda dengan kereta maha kecil yang ada di rel yang jauh, panjang, dan tidak saling bersentuhan. Namun entahlah kalau ternyata Kanjeng Gusti Allah Swt menghendaki sesuatu yang lain yang bersembunyi di luar jangkauan daya nalar pikiranku".
Muwal menertawaiku ketika melihat model strategi pikiranku yang dipakai untuk menggempur pertahanan Italia sebagai juara dunia sepak bola.
"Muwal, jangan menertawaiku" hardikku membuat Muwal diam seribu bahasa.
"Aniar, aku menyesal telah menyakitimu, bayangan-bayangan indah tentangmu telah menggugah berkembangnya impian-impian maya dalam kehidupan kita. Kita pasti tahu impian itu pasti lebih indah daripada kenyataan. Buktinya sekarang ini, impian bersamamu bisa lebih langgeng bahkan sampai jenjang pernikahan. Tapi perjalanan cinta kita tersendat-sendat. Aniar, kenapa musti engkau yang memenuhi bayangan pikiranku untuk meraih impian, kok tidak lainnya. Aku marah kepadamu karena menyebabkan aku menderita dalam kefanaan. Kucium kesunyian kening foto kekasihku. Bunga melati yang dulu pernah ku tanam di pelipis foto kekasihku di sampng muwal, ternyata telah sekutu dengan bantal yang hampir sekarat d himpit sprey. Aku terkejut. Angin pantai yang semula ramah tiba-tia mendamparkanku ke hari-hari silam : betapa lunak sarang laba-laba segenap keberadaaanku.
'Muwal, akhirnya dengarkanah bait-bait Qosyidah puisi cinta yang menggetarkan seluruh isi kamar , termasuk si sombong bantal".
Saat pagi menebar keramaian
Jiwaku mencair di padang pasir
Untuk memaafkan sang kekasih
Aniar, engkau bertasyahhud
Di pinggir Sungai Metro
Semoga
Hatiku bisa menerima
Kemenangan dan kekalahan
Yang masih dalam kandungan ibu
Apakah kita padu atau memfisi
Apakah aku mencintaikmu
"Muwal, sudah kuputuskan bahwa aku ingin bicara langsung kepada kekasihku agar pertentangan Tom and Jerry segera sirna dan menjadi sepasang merpati yang tidak dapat dipisahkan.
Joyosuko Malang,
15 Agustus 2006
Terbakar Kehampaan
Cinta……”Pujangga-pujangga terdahulu telah menyampaikan” Adalah pemberian tuhan, cinta adalah inti, sedangkan manusia yang menjalani adalah kulit. Cinta adalah ikatan kasih sayang yang didapat dari tuhan, jadi cinta itu adah sifat Tuhan. Bagi mata yang terang, cinta itu adalah keajaiban cahaya abadi. Seseorang yang gila karena cinta, mati dengan harapan bagi sesuatu yang hidup. Walau aku harus meneruskan keteranganku tentang cinta, walau seratus kebangkitan berlalu, belum juga pernah purna. Cinta terkadang membuatku begitu berapi--api dalam mengarungi dunia. Cinta juga bisa menjerumuskanku pada tataran penderitaan yang amat dalam sehingga hidup ini terasa hampa. Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit, dengarkan puisi yang kubuat ini, ia mengalir bagai air kehidupan.
Air Kehidupan
Aku ini…
Tumbuh sendiri
Mengarungi hidup
Pada diri aku
Antara dirimu dan aku
Terjadi perbedaan yang dalam
Membuat serpihan insan
Jadi kemelut hati
Cinta sebagai air
Yang memberi kehidupan
Pada makhluk yang butuh
Penyegaran yang tak kira
Cinta kini, kutemui di dalam latar
Yang cukup luas
Aku tergugah
Perasaan cinta hampa
Yang jadi beku
Bertahun-yahun
Dulu……
Cintaku hilang
Oleh keserakahan pengguna ilmu tua
Yang melarang jilu bergabung
Yang melarang LorLon memfusi
Padahal aku mengalami
Adalah kata jilu dan LorLon
Hingga,
Perpisahan
Memberi warna kehidupan
Yang telah terajut selama seribu hari
Rengekan tangisan dihati
Tak cukup mengobati luka
Dihati penuh dengan iba
Ketika teringat itu
Menangislah Ia
Saat itu,
Saat melepas masa kemudaannya
Aku berjingkat pergi
Sambil,
menahan nafas hati
Agar tak pencar berserakan
Penguasanya paham
Pendampingnya juga mengetahui
Bahwa cinta tak harus memiliki
Seribu hari yang telah aku lalui
Tidaklah sia-sia
Aku tak harus memiliki
Jadilah cintaku
Sebagai air
Yang mengaliri kehidupan ini
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit, Itulah kenangaku pertama yang ditolak oleh adat, budaya dan tradisi yang masih mengikatku sebagai dunkling kehidupan, tapi aku sangat menghormati dan tidak menolak. Meskipun telah seribu hari lebih berjalan mulai diawal kekecilan hidup hingga pikiran dewas atelah menganga didepan mata. Aku telah bersama cintaku dari sebuah pesantren dikawasan hutan kawilangan kartoharjo yang musnah oleh tradisi Jilu dan LorLon. Aku tetap, tapi perlu diketahui kalau sistem cinta itu ada dua, cinta yang memiliki dan cinta yang tidak memiliki. Dan aku tertakdir mendapat jatah yang kedua, akhir yang membuat ketabahanku diuji. Untuk itu kusirami diriku dengan salsabila yang diberikan oleh Allah SWT kepadaku di padepokan ilmu.
Padepokan Ilmu
Ku ingat
Hari kamis, dibulan September 2004
Dideretan ke empat
Sebuah padepokan ilmu yang cukup terkenal
Seantero dunia nyata
Aku ingin bertasbih
Sehabis wiritan di daerah seribu macam angin
Membuatku penat
Aku berkonsentrasi,
Aku mengamati sekeliling
Lalu......
Aku rileks
Aku santai
Saat aku memperhatikan dua orang gadis
Berjilbab putih
Sedang menimba ilmu
Pemberian tuhan
Untuk menambah rasa cinta kepada-Nya
Aku tak perduli
Kuteruskan konsentrasi hati dan pikiran
Aku terus merasakan nikmat tuhan
Yang sulit dirasakan oleh orang lain
Meskipun itu akan merusak system pertemanan
Maka, salah seorang gadis berjilbab itu
Mengutarakan perkataan
Terpisah dari jalur kebenaranku
Bahwa aku memperhatikan
seorang gadis berjilbab disebelahnya
Maka......
Aku kaget
Tidak mengira
Akan seperti itu
Tatapan kosongku
Menodong sebuah harapan
Maka......
Terjadilah persahabatan yang sekilas
Bagai sekilas berita
Dan semakin lama hilang tertelan perjalanan kehidupan.
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit, itulah saat pertama kali kita berjumpa dan berkenalan denganmu. Dan disitulah aku sebenarnya cuek dan hilang ditelan bumi tapi ketika ada seseorang yang mengingatkanku. Maka, disitulah awal kesadaranku mencari dirimu. Aku masih mengingat dan tak mau bermain dengan cinta. Dan aku teringat oleh ucapanku sendiri. Bahwa cinta adalah seorang tukang pijat yang mencari kelelahan dan rasa capek dan sebaliknya tiada pencinta yang meraih persatuan tanpa usaha kekasih yang mencarinya. Aku mulai terbangun dari kegelapanku. Jadi termotivasi dari puisi cintanya Jalaludin Ar-Rumi ‘jangan kau melihat pada keindahan dan keburukan bentukm, tataplah cinta dan sasaran pencarianmu”. Itulah yang membuat aku tersiramioleh air cinta yang dipancarkan olehmu. Hatiku kala terbayangkan dirimu disetiap kala itu. Air cinta itu dating diwaktu kita berpisah selama beberapa juta detik kehidupan untuk menyejukkan jantungku.
Air Cinta
Air cinta
Yang mengalir
Dari tinggian
Ke dasaran
Yang terpancar
Dari dirimu
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit
Ku masih teringat
Akan rautanmu
Yang membawa air cinta untukku
Hasratku, pada air cintamu
Telah membawaku terbang
Melintasi samudera ilmu
Dan keluasan Al Qur’an
Aku jadi bingung dan gila
Jendela hanya mampu
Menerima sebagian kecil cahaya bulan
Padahal bulan, terus memancarkan cahaya yang abadi
Itupun aku,
Aku tak mampu
Menangkap air cintamu
Yang masuk ke hati dan jantungku
Yang hanya sebagian kecil terdampar dan melekat
Sedangkan air cintaku
Apakah sudah terpancar dan mengenaimu?
Ataukah belum...
Aku tidak tahu, tidak tahu
Semua itu...
Tidak aku pahami
Padahal aku...
Jadi terpesona oleh syariat air cinta
Yang terus melindungimu
Tapi, aku tak mampu menerimanya.
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit . waktu itu aku mulai mengerti bahwa mata dan hati tidak bias dibohongi. Aku mulai menyukaimu dan menyayangimu. Entah dari mana aku bertindak seperti itu. Seringkali aku tahu cinta nafsu dan hanya wajah duniawi yang nampak dihadapanku. Jalan terjal telah mengeliliku untuk mencazri cintaku. Aku menyadari, jiwaku kerdil untuk urusan cinta. Aku tidak paham ini mungkin akan membuatku terlahir kembali untuk menapaki lahirnya cinta dihati
Lahirnya Cinta
Cintaku
Terlahir kembali
Terulang lagi
Untuk kesekian kali
Awal untuk kegagalan
Sekarang untuk harapan
Aku sangat berhasrat untuk melahirkan cintaku
Yang lama telah mati
Atau hanya pinsan semata
Oleh kata semaput
Bertahun yang lalu
Bertahun yang menangis
Oleh biduan putrid jelita
Yang selalu memancarkan ayat-ayat kenelangsaan
Keturunan Kyai sempurna
Dari daerah kawilangan kartoharjo
Dan, kini….
Kudapatkan lagi
Kelahiran cintaku
Meskipun aku tidak menyadari
Persambungannya
Tapi, aku tidak perduli
Jika aku tidak mampu meraihnya
Sebab, aku masih terbelut benang merah
Oleh asmaraku yang lahir
Apakah dia tahu
Kelahiran cintaku
Yang muncul darinya
Dan terus mendekap nafsuku
Aku suka, cintaku bertahan
Selama ini
Kurun waktu yang sangat lama
Tak pudar oleh gertakan prahara kelud
Tapi, apakah itu tersahut?
Aku tidak tahu
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit, aku hormati kelahiran cintaku kepadamu. Aku bingung ketika berhadapan denganmu. Cintaku tak sepaham denga keadaan cintaku yang ada dalam hati ini. Malah tidak searah dengan langkah beratku. Aku jadi bingung. Kini, aku hanya bias berpikir tentang dirimu. Seorang pujangga cinta mengatakan “ketika cintamu telah membentuk ketinggian gunung mahameru, maka ingatlah bahwa permukaan laut adalah kilauan yang tak tercapai dan kedalamannya adalah kegelapan yang tak terduga dan diantaranya adalah ikan-ikan yang teak terjamin.” Aku juga tidak paham. Wujud yang terpancar keluar dari raut wajahku jelas terlihat bahwa aku sangat mencintaimu. Bentuk penyiksaan diri telah aku terima dengan konsekuensi cintaku . aku tak tahan, kucoba untuk bersabar dalam episode ini. Mengapa pilihanku harus jatuh kepadamu, tidak kepada yang lainnya. Aku tidak tahu, mungkin tuhan telah menggariskan langkahku untuk episode sekarang ini. Aku tidak paham dengan dirimu, apakah engkau juga merasakan seperti yang terus menggelora dalan setiap langkah yang harus aku jalani, babak demi babak lakon kehidupan ini, apakah bias meluapkan perasan yang tersahut oleh cintamu kepadaku, itu belum jelas. Tapi itu terserah, karena saat ini aku terus menikmati hawa surga yang menaungiku. Yang penting aku telah meluapkan perasaan dalam bentuk kata-kata yang terurai menjadi kalimat dan terus tersusun menjadi barisan yang sangat rapi pada barisan batalyon puisi cinta yang siap memangsa setiap pendengan dan pembaca untuk memahami bacaan yang aku sampaikan itu sebuah fakta yang harus terpegang terus. Sebuah penerimaan dan kepenolakan dalan kata logis dalam sebuah perjalanan cinta. Tanpa adanya cinta itu, dunia sungguh hampa. Karena itu, aku tidak ingin menjadi Ishq (kepayang) karena hanya mengeluarkan cinta nafsu saja kepadamu. Cintaku adalah abadi. Aku berterima kasih kepadamu yang telah mengenalku dan telah memberikan gumpalan cinta tanpa kejelasan status dunia. Bila engkau mencintaiku, meskipun hanya sebesar buah terkecil. Aku sangat bahagia dan tak akan sanggup mengungkapkan kata-kat terima kasih. Meskipun kata-kata dari pujangga besar dan terkenalpun tak akan sanggup meluapkan rasa kebahagianku ini. Meskipun rinduku terus menyelimuti kemanapun aku melangkah dan sudah membentuk sebuah baying-bayang abadi. Aku tetap mengiyakan sehingg akata rinduku menjadi impian yang semoga tercapai dan bertemu denganmu. Itu sebuah kenikmatan dunia yang tiada duanya.
Rinduku
Rinduku di persimpangan
Antara kejelasan atau kebutaan
Aku cinta pada hati
Meskipun raga tak memiliki
Bukan pada mata
Kulukiskan jiwa ini
Membuat nestapa
Pemerian dalam dunia
Cintaku…
Bersatu dalam kalbu
Menyimpang di negeri jauh
Tertuju jelas pada jiwa
Yang terpegang oleh seorang gadis
Dari tanah Selo Pagelaran Penutup Jiwa
Apakah hal itu wajar?
Dalam keaslian cinta
Bukan fatamorgana nafsu
Oh cintaku…
Sudikah engkau mengenal cinta dan memberi harapan
Itu sudah memuaskan diriku
Tapi, cintaku meminta nafas panjang
Yang tak jelas batas klimaksnya
Membuat jiwa ragu
Hati bimbang
Aku tahu,
Ini memang sulit
Menjangkau kejelasan
Antara langkah dan maksud
Hingga hati dan jiwaku bersandar ke dermaga lain
Yang setia menanti sandaran perahu cinta
Dan terus menanti…
Duhai gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit, kemudian aku akan menciptakan penderitaa dan rasa sakit. Agar aku bias merasakan senangnya hati ini dan aku merasakan manisnya rasa jamu kehidupan. Aku sudah memulai langkah dengan langkah lain yang merbeda dengan tujuan awal sehingga bayangan lama dan baru tentangmu sedikit demi sedikit berterbangan entah kemana. Tapi waktu selembar laying menyapamu dan engkau menyahut dengan lontaran berbeda, aku menjadi kaget dan tak percaya. Ternyata dibalik penundaa hati dan cinta masih ada terbersit cinta dan fefleksi hati yang bias menyayat jiwa. Aku tidak tahu. Kenapa itu telat dikatakan setelah aku memutuskans sebuah hasil perjuangan. Tapi, kuingat bahwa itu tidak terlalu aku sesali, karena Allah Swt pasti punya acara lain kepadaku dan kepada kekasihku. As Shatibi berpesan “ Oh hati, ambillah analogi demi pemahaman sehingga kau tahu perbedaan antara keterpaksaan dan perbedaan. Jadilah kebebasan. Bahwa engkau punya kebebasan.” Terima kasih engkau telah sudi mencintaiku meskipun sia-sia tetapi hati dan jiwa sangat bergembira dalam langkah selanjutnya dan hal itu akan terus ku kenang sepanjang hayat yang terus aktif dan akan aku scan dan install terus. Lalu aku akan kembali bangun dan bangkit untuk membina dan menempa diriku agar sabar dan tabah dalam menjalai hidup dengan dan tanpa kekasihku. Harapan ditabur dan mengutip serpihan angan untuk diriku dan dirimu. Apakah aku dan engkau kukuh dan kuat dalam pemerian itu atau menfusi secara jiwa. Terus kuingat dan kukenang engkau, engkau, engkau kekasihku gadis pujaan hati titisan Dewi Sanggalangit. (Kediri, 03 Pebruari 2008)*
* Puisi ini dibuat dengan bantuan teman-teman the maza group, thanks to Mr. Imin, Mr. Amix, Gus Bimo Anan, Ning Ema, Mrs. Tyas and mbak iprid.