Kamis, 28 Mei 2009

KERETA PUSPA

Langit di atas sungai brantas yang menampung berbagai tumpahan dosa makhluk-makhluk yang bernyawa tampak suram. Hal ini disebabkan oleh cukong-cukong yang mencari rizki di atas penderitaan rakyat miskin. Sementara itu air berlari berkejaran kesana kemari tanpa peduli dengan barang-barang yang di kandungnya dan dosa yang ditimpakannya di kemudian hari. Para malaikat dan bidadari bergerombol mengiringi kepergian Muhaimin ke negeri sejuta tanaman dan seribu macam coban. Ikan-ikan bergerombol dan berdesakan mengikuti jalannya perahu cialik sebagai singgasana empuk menuju tanah ratapan di Daerah Penjalu.
Muhaimin duduk di singgasana dekat seorang ibu setengah abad yang terlihat penat dan sumpek meratapi nasibnya, ditengah penantian waktu yang tak terhingga, berjalan seorang gadis berjilbab putih pujaan hati setiap lelaki yang memandangnya. Gadis berjalan diiringi oleh ikan duyung dari Telaga Sekaran di Daerah Kedungloh. Gadis itu menyapa Muhaimin dengan pelan.
"Mas, kebetulan kita bisa bareng menuju Negeri Impian di balik Gunung Putri tidur" sapa gadis itu. Sementara Muhaimin kaget dan terkesima memandang gadis itu. Ia mengamati gadis itu dengan nikmat senikmat upacara hari senin.
"Lupa ya mas," lanjut gadis itu dengan lembut.
"InsyaAllah kamu adalah Choiriyah dari Negeri Kedungloh putra Kyai Hasyim yang termasyur kewibawaannya itu" tebak Muhaimin.
"Benar mas, mas mau pergi ke Negeri Kemalangan?"
"Sama dengan kamu"
Semua penumpang perahu cialik terkesima melihat kecantikan Choiriyah yang aduhai. Mereka seakan tidak percaya bahwa penumpang yang bernama Muhaimin mempunyai seorang teman secantik Dewi Sekartaji.
"Muh, temannya sangat cantik seperti titisan Dewi Sanggalangit keturunan Dewi Kilisuci” puji seorang bapak 8 windu"
Perahu cialik terus berlayar mengarungi sungai yang baru saja menerima muntahan makanan dari negeri kemalangan, keblitaran, katulungan dan kadiri. Muhaimin dengan mimik santai meneruskan orkrestasi guyonan bersama choiriyah sampai perahu cialik tiba di dermaga negeri ratap.
"Mas, hendaklah memilih jalur yang cukup membawa kenyamanan hati menuju negeri kamalangan"
"Benar dik kita menuju negeri kamalangan melewati sungai jombang yang melahirkan ribuan kyai menasional"
Muhaimin dan Choiriyah berjalan menuju persinggahan Kereta Baruna disamping Ratap, mereka berjalan diiringi oleh puji-pujian para pujangga dan seniman.
Kereta baruna berhenti tepat dipersinggahaannya, Muhaimin dan Choiriyah naik kedalam dan duduk di kiri tenang.
"Sungai Berantas sedang kekenyangan di Daerah Singkal Anyar sehingga setiap nafas penduduk selalu bernafas dengan kencang dan tidak henti-hentinya" Muhaimin mengawali pembicaraan.
"Benar mas, air pada tahun ini Muhaimin, mengamuk di negeri agrarian ini, karena air sudah dinodai oleh bangkai-bangkai ayam, kucing, tikus, babi, kotoran manusia dan bahkan bangkai manusia" lalu air merasa gelisah dan terganggu sehingga terjadilah seperti ini". Choiriyah menjawab dengan panjang lebar sehingga membuat Muhaimin terkesima dengan gadis itu, yang ia tahu bahwa Choiriyah adalah gadis lugu dan pendiam ternyata seorang gadis periang dan penuh dengan ide-ide untuk menguraikan angan menjadi kata sehingga enak didengarkan.
"Kok melamun mas"
"Ah tidak, aku tak habis pikir mengapa ibu kota yang metropolis itu sekarang tenggelam dan mengapa rumah-rumah yang dihuni oleh kurawa dan singgasananya tidak ikut tenggelam, apa es yang ada di kutub sudah meleleh?” Tanya Muhaimin agak serius.
“Iya mas, punggawa raja juga harus tenggelam, biar sama-sama merasakan.”
“Tapi tidak juga dik, dari beribu-ribu punggawa kerajaan pasti ada yang baik dan masih punya disiplin yang tinggi.”
Barangkali mas sedikit moderat, lihat saja cukong-cukong yang mengatasnamakan konglomerat tak bisa mengembalikan upeti yang dipinjamnya kepada kerajaan bahkan mereka mau membuat perjanjian baru lagi untuk diajukan ke pihak kerajaan.”
“Sangat utopis sxdekali tetapi wajar juga, mereka kan hidup dari rakyat jelata.”
“Benar mas”
“Mereka sebenarnya bukan konglomerat tetapi konglomlarat atau kalong arto yang seharusnya sekelas sandal jepit yang menjadikan uang sebagai Dewa Wisnu dan rakyat sebagai Dewa Siwa yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan mereka.”
Kereta Baruna melaju dengan kecepatan setengah cahaya, secepat deru suara yang di timbulkannya. Tiba-tiba terdengar suara cessssssssssssss yang sangat memekakkan telinga.
“Celaka kita, waktu terus mengejar tetapi roda kereka kempes.” Gerutu Khoiriyah dengan mimik kecewa.
“Tidak dik, yang kempes itu bukan kereta ini tetapi kereta gandeng pengangkut pasir yang menuju ke ibu kota babi-babi darat.” Jawab Muhaimin untuk menenangkan perasaan hati Khoiriyah yang gundah.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di persinggahan Kajombangan yang maha luas. Mereka bergegas menuju Kereta Puspa yang selalu menebarkan wewangian akan mengantarkan mereka menuju Negeri Kamalangan di kaki Gunung Arjuno.
Kereta Puspa melaju dengan mantap menuju Negeri Kamalangan yang berjarak 57 ribu terjangan kaki kuda mahapatih. Muhaimin duduk di samping kiri khoiriyah untuk mengahalangi tangan dan mata kerbau-kerbau keranjang.
“Iir,” teriak seorang gadis ayu dari depan dan setelah di tengok ternyata Yulia anak Negeri Jogotirto yang terkenal dengan ramuan madunya.
“Hai yul, ke Negeri Kamalangan juga ya.” Balas Khoiriyah dengan gembira.
“Oh kamu Yul, tak kirain seorang bidadari Titisan Dewi Ambarwati dari Kahyangan Kamojoan” terka Muhaimin
“Ngomong-ngomong kalian berdua kok bareng, janjian ya?” Terka Yulia.
“Benar, berita tentang kepergianku sudah di dengar oleh mata-mata dari Negeri Kasurupan sehingga Khoiriyah perlu mendapat kawalan dari seorang yang dapat diandalkan.” Jawab muhaimin menyombongkan diri.
“Benar Yul, aku kan berdekatan dalam mengarungi jalan yang nantinya sangat berliku” lanjut Khoiriyah.
“Oh begitu”
“Iir, duduk disebeah yulia atau tetap disini bersamaku?”
“Disini saja mas, enak.”
Kereta puspa terus melaju dengan kencang didaerah perbatasan sehingga setiap hela nafas mereka berdua sangat berarti untuk meneruskan kelanjutan cerita ini.
“Hai Muhaimin, sombong kamu, mentang-mentang di sampingnya duduk seorang bidadari cantik jelita seperti titisan Dewi Kilisuci sehingga tidak mengenal aku.” Seorang pemuda menjawil pundak Muhaimin dari belakang, Muhaimin memalingkan kepalanya ke belakang dan berteriak gembira.
“Ananto, Bambang, bareng lagi ya, pasti malas naik Kereta Rapid dhoho ya.”
“Benar Min, ngomong-ngomong ada apa ke Negeri Kamalangan lagi?’ tanya Bambang
“Biasa, acara rutinan”
“Rutinan atau mengantarkan bidadari sejelita ini” puji Ananto dengan wajah terkagum-kagum.
Suasana menjadi sunyi di siang yang menampakkan kemurungannya. Langit semilir-milir malu melintas di hadapan mereka, sedang suara-suara binatang mulai menggema di Rimba Kasembon dan Rimba Kangantangan. Suara rem Kereta Puspa tiba-tiba berdencit dengan keras.
“Ada apa mas?”
”Ada sebatang pohon tua yang malang dan frustasi sehingga roboh dan menghalangi jalan yang kita lewati.”
“Oh kasihan sekali pohon itu, ia sudah tua tapi disia-siakan generasinya.” Timpal Khoiriyah.
Dalam mengarungi Rimba Kasembon dan Rimba Kangantangan, banyak sekali kejadian-kejadian yang dialami oleh rombongan Kereta Puspa mulai dari pohon tua yang tumbang, tanah yang bersujud, aliran Sungai Konto yang membuat gemetar orang yang menyaksikan. Semua itu tidak mempengaruhi Muhaimin dan Khoiriyah melewati masa penungguannya yang tersisa 2 ribu cahaya dalam hitungan detik. Mereka berdua membuka file-file lama tentang kejadian-kejadian yang menjadi andalan untuk digabungkan menjadi sebuah cerita yang tiada habisnya. Sementara Yulia, Ananto, dan Bambang di tinggal dan tidak dipedulikannya.
“Mas Muhaimin, lihat itu air terjun yang setiap detik menggerujukkan tumpahan airnya yang tak kenal lelah”
“Iya, dik, kalau saja para punggawa kerajaan seperti itu, tak kenal lelah dalam memperjuangkan dan mengabdi kepada rakyaat maka kerajaan menjadi makmur. Itulah angan-angan kita sejak dahulu.”
“Tapi sepertinya sangatlah berlainan.”
“Berlainan bagaimana?”
”Ya tawa fatamorgana dan tangisan embun-embun kepenatan di atas penderitaan rakyat.”
“Oh itu, semoga kerajaan akan loh jinawi menanti turunnya segala masalah sehingga bisa di selesaikan dengan cepat.”
Muhaimin melihat kesejukan wajah Khoiriyah yang memancarkan ayat-ayat kegembiraan. Muhaimin tertegun membayangkan kelanjutan cerita yang sulit dihentikan . Dalam beberapa menit muhaimin dan khoiriyah diam membisu memikirkan nasibnya yang kian sengsara di landa badai kris dan badai francis.
Kereta puspa memasuki gerbang kota kamalangan, di samping kiri terlihat dengan megah Padepokan Telogomas yang sangat termasyhur lalu Kereta Puspa memasuki pelataran singgahan kereta landungsari yang sibuk oleh urusan duniawi. Muhaimin dan Khoiriyah turun dari Kereta Puspa menuju ke Padepokan Katitik sumber. Mereka berpamitan dengan Yulia yang menuju padepokan Kerto pamudji dan Ananto serta Bambang yang menuju Padepokan Wagir kartoraharjo.
“Dik Khoiriyah, saya turun di Perguruan Joyotresno di samping Sungai Metro yang membawa kedamaian ya” pamit Muhaimin
“Silahkan mas, dan hati-hati.”
“Dik, jaga keselamatan dan kesehatan ditengah-tengah keterpurukan bencana nasional”
“Beres mas.”
Pagi hari yang mendung, membuat kota kamalang terlihat muram, matahari enggan bangun karea sedikit pusing oleh ulah para babi darat. Tetapi berita tentang Muhaimin dan Khoiriyah menghangat di telinga murid-murid di Padepokan Kertoaji yang terkenal dengan ajian pancarnyowo dari iyang resi bagus partapan. Tetapi Muhaimin dan Choiriyah tetap santai sampai episode cerita ini berakhir. Sampai jumpa lagi.



Di Dalam Bus menuju Malang.
Nganjuk, 05 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar